Search

Mayat, Pengungsi, dan Dilema Sesudah ISIS

Jakarta, CNN Indonesia -- Bukan hanya mereka yang hidup mengalami kesulitan saat meninggalkan kelompok ISIS. Mayat ratusan militan ISIS yang tewas dalam pertempuran juga tak jelas nasib masa depannya, khususnya mereka yang sempat bertempur melawan tentara Libya di Kota Sirte.

Ada ratusan mayat militan ISIS yang disimpan pasukan keamanan Libya di lemari-lemari pendingin Sirte, sebelum kemudian dikirim ke barat, ke Misrata. Pemerintah Libya masih menunggu kepastian dari negara-negara asal militan itu, mau diapakan mayat-mayat tersebut.

Namun untuk mengembalikan langsung ke negara-negara macam Tunisia, Sudan, dan Mesir, hanya akan menimbulkan persoalan sensitif. Ini terkait dengan pengakuan seberapa banyak warga negara-negara itu yang bertempur untuk ISIS di Irak, Suriah, dan Libya.

“Tim kami memindahkan ratusan mayat,” kata seorang pejabat dari unit kriminal di Misrata kepada kantor berita Reuters, Sabtu (22/7) waktu setempat. “Dalam operasi ini kami menyimpan jenazah mereka, dokumen, dan foto, serta mengumpulkan sampel DNA juga.”

Pihak keamanan masih menunggu kabar dari Jaksa Agung yang mencoba berbicara dengan pemerintahan negara asal mayat-mayat tersebut.


Tak Mau Kembali

Ketidakpastian juga melanda warga yang beragama Kristen dari Mosul, Irak. Kota ini sudah berhasil direbut kembai oleh pasukan Irak. Namun, mereka tak serta merta ingin pulang.

“Tidak ada keamanan, perlindungan, bagi orang Kristen saat kembali ke sana,” kata Haitham Behnam, bekas warga kota terbesar di utara Irak itu, seperti dikutip AFP.

Behnam dan keluarganya memilih bertahan di Arbil, ibu kota warga Kurdi Irak. Mereka mengungsi ke kota itu setelah ISIS merebut Mosul pada 2014.

Awalnya, kata Behnam, militan ISIS berjanji tak mengganggu orang-orang Kristen. Tapi sepekan kemudian, muncul seruan untuk mengusir orang Kristen. ISIS kemudian memberikan ultimatum kepada sekitar 35.000 orang Kristen di kota itu: boleh tinggal asal mau pindah agama, atau membayar pajak untuk orang nonmuslim, atau berisiko dieksekusi mati kalau tak pergi.

Tapi sejak 10 Juli lalu, pemerintah Irak mengumumkan keberhasilan mereka merebut kembali Mosul setelah pertempuran sengit selama beberapa bulan. Hanya situasi ini meninggalkan perasaan dilematis bagi pengungsi Kristen, sebab tiga tahun terakhir mereka telah membangun kembali kehidupannya dan mulai melupakan masa-masa indah di Mosul.

“Kami tak bisa kembali, meski ingin,” tutur Behnam, yang sudah bekerja sebagai mekanik di Arbil. Di kota ini dia sudah bisa menghidupi istri dan dua anaknya. “Tidak ada keamanan di Mosul, penduduk di sana sudah dicuci otaknya selama tiga tahun terakhir. Bahkan anak-anak sudah menjadi Daesh (sebutan untuk ISIS), mereka sudah diajari menggorok leher.”

Essam Boutros, seorang ayah empat anak, sependapat. Dia terpaksa merangkak dari bawah lagi setelah mengungsi ke Arbil. Padahal di Mosul dia punya lima toko dan dua rumah. Agar bisa hidup pada 3 bulan pertama pengungsiannya, Boutros menjual mobil dan menyewa sebuah toko dan menggunakan reputasi dan rekanan bisnisnya untuk membuka jalur kredit ke suplier di Turki.

Dia belum pernah kembali ke Mosul untuk memeriksa propertinya. Kalaupun kembali, dia akan pergi tanpa keluarganya. “Sangat besar risikonya kalau pergi dengan keluarga,” tuturnya.

(ded/ded)

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Mayat, Pengungsi, dan Dilema Sesudah ISIS : http://ift.tt/2vMhZOV

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Mayat, Pengungsi, dan Dilema Sesudah ISIS"

Post a Comment

Powered by Blogger.