Meski berstatus ilegal, Meldy dan Eva diberi kesempatan untuk tinggal di Negeri Paman Sam berkat kesepakatan tahun 2012 yang dinegosiasikan secara independen dengan kantor imigrasi AS.
Melalui kesepakatan ini, sejumlah imigran ilegal di AS diberi penangguhan sanksi keimigrasian dan izin tinggal dengan syarat penahanan paspor dan kewajiban melapor rutin ke kantor imigrasi dan bea cukai sesuai jadwal.
Namun, keadaan berubah ketika Meldy dan Eva datang kembali ke kantor imigrasi di Manchester, New Hampshire, pada Agustus lalu untuk pelaporan rutin.
"Kami takut pulang ke rumah [Indonesia]. Kami takut keamanan anak-anak kami terancam. Di AS, anak-anak kami bisa hidup dengan aman," tutur Meldy kepada Reuters beberapa waktu lalu.
Pihak imigrasi terpaksa meminta pasutri itu untuk kembali ke Indonesia berdasarkan peraturan eksekutif yang diteken Donald Trump pada Januari lalu.
Dalam aturan baru itu, pemerintahan Trump berupaya membuka kembali kasus-kasus imigran ilegal di AS yang mendapat penangguhan hukuman di bawah pemerintahan sebelumnya, seperti keluarga Lumangkun.
Sejak Agustus lalu, para imigran yang selama ini mendapat penangguhan sanksi dan mendapat izin tinggal pun berangsur-angsur diminta untuk segera pulang ke negara asal mereka.
Kini, setidaknya ada 41.854 imigran ilegal di AS yang terancam dideportasi akibat peraturan baru Trump ini.
"Aturan eksekutif yang Presiden Trump teken pada Januari lalu telah mengubah segalanya," ucap juru bicara kantor imigrasi dan bea cukai, Shawn Neudauer.
Keluarga Lumangkun sendiri merupakan satu di antara sekitar 2.000 orang Indonesia-Tionghoa di New Hampshire yang melarikan diri dari kericuhan pada 1998 lalu, saat kerusuhan akibat krisis moneter berkecamuk hingga menewaskan 1.000 orang tersebut.
Saat itu, keturuan Indonesia-Tionghoa kerap menjadi sasaran diskriminasi ras di Indonesia lantaran besarnya kontrol mereka terhadap bisnis dan perdagangan di negara mayoritas Muslim tersebut.
Dalam beberapa kasus pada 1998, orang-orang Tionghoa bahkan menjadi sasaran pembunuhan hingga pemerkosaan, memaksa sebagian dari mereka mengungsi ke negara lain.
Tak hanya Keluarga Lumangkun, sejumlah warga Indonesia-Tionghoa lain yang juga tinggal di AS dalam pelarian merasa tertekan dengan kebijakan pemerintahan Trump tersebut, termasuk Jacklyn Lele.
"Ini sangat membuat stress. Anak saya tak ingin pulang ke sana [Indonesia], dia terus mengatakan bahwa 'saya adalah orang Amerika'," ucap Jackyln yang melarikan diri ke AS sejak 2006 lalu.
Jackyln memutuskan untuk hijrah ke AS setelah kakak laki-lakinya tewas dalam kekerasan 1998 lalu.
Keluarga Jacklyn mengikuti gelombang warga Indonesia-Tionghoa yang kebanyakan lari ke AS untuk tinggal di pinggiran New Hampshire dan bekerja di pabrik-pabrik kecil.
Sementara itu, beberapa di antara mereka tinggal di New Jersey dan menjalani kehidupan normal di pedesaan sebagai buruh hingga pastor di gereja-gereja.
Sejumlah media lokal seperti surat kabar Foster Daily pun mengecam upaya deportasi ribuan imigran ilegal asal Indonesia-Tionghoa ini dalam sebuah tulisan editorial pada Agustus lalu.
"Tetangga yang telah bekerja keras dan mengikuti peraturan seharusnya tidak diusir dari negara ini. Orang-orang yang tidak melakukan kejahatan seharusnya tidak begitu saja dihilangkan dalam penahanan oleh kantor imigrasi," bunyi editorial koran itu. (has)
Baca Kelanjutan Kisah WNI Terancam Dideportasi Akibat Aturan Imigrasi Trump : http://ift.tt/2ihKnaaBagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah WNI Terancam Dideportasi Akibat Aturan Imigrasi Trump"
Post a Comment