Adapun reaksi berbagai kalangan terhadap pertemuan bersejarah antar-Korea sangat beragam. Ada yang optimistis, namun tak kurang pula yang pesimistis, meragukan niat pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, terutama untuk melucuti senjata nuklirnya. Meski begitu, sebagian besar menyambut baik terobosan bersejarah dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di Rumah Perdamaian, Desa Gencatan Senjata, Panmunjom, Korea Selatan, Jumat (27/4).
Kalangan pengamat menilai niat baik yang tertuang dalam Deklarasi Panmunjum harus segera ditindaklanjuti agar momentumnya tidak hilang. Adriana Elizabeth, pakar politik internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai pertemuan bersejarah antara pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in adalah sebuah langkah awal yang harus segera dilanjutkan, termasuk masalah denuklirisasi.
Mengingatkan bahwa pada pengalaman sebelumnya, Korea Utara kerap tidak patuh pada perjanjian yang disepakati, Adriana tetap merasa adanya kemajuan dalam pertemuan Kim Jong-un dan Moon Jae-in kali ini.
"Saya pikir ini prosesnya akan cukup panjang. Tetap harus ada insentif kalau ikut proses ini, supaya Korut betul-betul mau menghentikan tes nuklirnya, kecuali untuk tujuan damai," kata Adriana saat dihubungi CNNIndonesia.com via telepon, Jumat (27/4).
Peneliti LIPI yang baru saja kembali dari Seoul, Korea Selatan itu mengungkapkan selama di Ibu Kota Korea Selatan itu, dia menangkap persepsi berbagai kalangan masih terbelah. Ada yang optimistis, banyak juga yang meragukan bahwa pertemuan Kim Jong-un dan Moon Jae-in itu bakal lebih bagus dari pertemuan sebelumnya.
Korea Utara dan Korea Selatan pernah dua kali menggelar Konferenti Tingkat Tinggi (KTT) Inter-Korea pada 2000 dan 2007. Keduanya kandas. Banyak di antara kesepakatan yang akhirnya tidak dipatuhi oleh Korea Utara. Pertemuan Kim-Moon adalah KTT Inter-Korea ketiga. Baru kali ini ada kesepakatan soal denuklirisasi, termasuk rencana mengakhiri Perang Korea dengan sebuah kesepakatan perdamaian.
"Bagi saya ini adalah sebuah capaian awal, dari poin yang disepakati banyak hal yang bisa dilakukan. Misalnya saja soal reuni keluarga. Itu bisa langsung dimulai. Juga kerja sama di perbatasan, bisa langsung ditindaklanjut. Hal ini penting agar momentum tidak hilang," kata Adriana. Yang terpenting juga adalah menjaga kepercayaan yang telah terbangun. "Trust building kali ini baru awal, harus terus ditindaklanjuti," tambah dia sambil mengingatkan perlunya dukungan kemanusiaan bagi Korut.
Senada dengan Adriana, Arif Susanto, analis politik dari Exposit Strategic menyatakan Deklarasi Panmunjom sebagai suatu langkah kemajuan dalam hubungan kedua Korea. "Deklarasi Panmunjom, bagaimana pun, merupakan suatu langkah progresif dalam relasi dua Korea yang terus mengalami pasang-surut sejak usai Perang Korea 1953. Hal ini tidak lepas dari pilihan kebijakan Presiden Moon Jae-In, yang sejak awal menjanjikan suatu pendekatan persuasif berhadapan dengan Korea Utara. Pada sisi lain, tawaran tersebut mendapat sambutan positif dari Kim Jong-Un," kata Arif lewat pesan WhatsApp kepada CNNIndonesia.com, Jumat (27/4).
Foto: Korea Summit Press Pool/Pool via Reuters
|
Menurutnya, deklarasi tersebut juga mengekspresikan kehendak kuat untuk menyelesaikan tegangan di antara dua Korea secara mandiri. Bahkan setelah Perang Dingin berakhir, kedua Korea terus menerus berada di bawah pengaruh Amerika Serikat maupun China dalam mengembangkan pola hubungan politik. "Kali ini, tanpa kehadiran kedua negara patron, Korea Selatan dan Korea Utara mampu mencapai kesepahaman," kata Arif.
Meskipun demikian, kata Arif, dunia tidak sepatutnya optimistik secara berlebihan. Sambutan positif telah ditunjukkan Jepang terkait denuklirisasi, namun secara umum dunia masih menunggu langkah lebih konkret , yang membutuhkan negosiasi lanjutan. "Pada masa sebelumnya pun dunia telah paham bahwa terutama Korea Utara bisa dengan mudah mengingkari hasil kesepakatan," kata Arif.
Selain bergantung kehendak baik kedua negara, tindak lanjut denuklirisasi juga akan dipengaruhi terutama oleh kondisi ekonomi dan politik di kawasan Semenanjung Korea serta kepentingan negara-negara seperti Amerika Serikat, China, maupun Jepang. "Yang jelas, harapan perdamaian tampak jauh lebih terbuka di tangan Moon Jae-In, yang memang merupakan korban langsung Perang Korea," kata Arif.
Perubahan Sikap Kim Jong-un
Adapun terkait perubahan sikap Kim Jong-un, menurut pakar politik internasional LIPI, Adriana, terutama akibat tekanan internasional yang besar, antara lain sanksi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) terhadap Korut, akan menyulitkan bagi Korut jika tidak segera membuka diri. Mereka akan semakin terpojok. Meskipun menurut Amerika Serikat sanksi-nya belum maksimal.
"Kita juga perhatikan tekanan internasional kepada Korut sangat serius. Embargo perdagangan terkait item nuklir. Indonesia termasuk yang mengikuti itu. Kita membatasi ekspor kita dengan Korea Utara. Menurut saya itu juga cukup membuat tekanan yang luar biasa," kata Adriana.
Sebaliknya Presiden Korsel, Moon Jae-in perlu mengembalikan kepercayaan masyarakat yang terhadap lembaga kepresidenan yang runtuh didera skandal mantan Presiden Park Geun-hye, sebelumnya. Padahal Presiden Korsel sejak dulu, memiliki mandat untuk membuka peluang perdamaian dengan Korut, bagaimana pun caranya. Moon menggunakan momen terpilihnya dia sebagai Presiden, menggulirkan prosesnya hingga terwujud dalam KTT Inter-Korea ketiga. "Presiden Moon berusaha merealisasikan kebijakan pertamanya dengan benar, karena itu dia berusaha keras," kata Adriana.
Dia mengingatkan bahwa Korsel adalah aliansi Amerika Serikat. "Bagaimanapun dia membawa kepentingan Amerika juga, bukan Korsel sendiri. Dengan kebijakan Amerika yang tidak jelas di Asia, ada inisiatif dari Korsel untuk mewujudkan kesepakatan perdamaian," kata Adriana.
Sepinya pemberitaan di Korea Utara, yang tidak sesemarak dan terbuka seperti yang diumbar Korea Selatan menurutnya adalah karena Kim Jong-un ingin mempertahankan citra sebagai pemimpin besar di negerinya. Meski begitu, Adriana menilai rakyat Korea Utara pun ingin membuka diri. Sudah ada suara-suara aspirasi tersebut. "Berat bagi Korut. Begitu masyarakat dibyka, segala macam informasi sulit ditangkal," kata dia.
"Kabar yang saya dengar di Korea Selatan, masyarakat Korut ingin hidup seperti negara tetangganya. Bagaimanapun mereka bersaudara sejak dulu," kata dia.
Kim Jong-un, menurutnya perlu menyeimbangkan antara kepentingan domestik dengan kepentingan global. Mewarisi kekuasaan dari ayahnya, Kim Jong-il, Kim muda berpendidikan Swiss, tetapi masih dibawah kontrol Politburo. "Kalau dia keras kepala, pada akhirnya dia akan kembali terdesak," kata Adriana.
Ada beberapa poin penting yang perlu segera ditindak dalam pertemuan Kim Jong-un dan Moon Jae-in kemarin. Selain denuklirisasi, ada kepercayaan yang terbangun, juga reuni keluarga yang terpisah akibat perang. Setelah itu lalu dilanjutkan dengan kerja sama ekonomi, perdagangan. Korut juga harus memperhatikan aturan dan norma-norma internasional. Misalnya soal hak-hak asasi manusia. "Untuk menjadi negara besar, bukan hanya ekonomi dan keamanan tetapi juga harus memperhatian HAM," kata Adriana.
Terbukanya kerja sama Korea Utara dengan Korea Selatan juga membuka peluang kerja sama bagi negara-negara di seluruh dunia. Termasuk Indonesia. "Dengan Indonesia, Korea Utara berpotensi menggandeng kerja sama teknik dan kerja sama riset," kata Adriana.
(nat)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Deklarasi Panmunjom Langkah Awal Denuklirisasi"
Post a Comment