Johnson, menteri luar negeri, mengundurkan diri semalam (9/7), kecewa dengan kebijakan Brexit yang ditawarkan Perdana Menteri May. Langkah itu diambil beberapa hari setelah David Davis, pejabat yang bertanggung jawab atas proses kepergian Inggris dari Uni Eropa, lebih dulu hengkang.
Kepergian Johnson dan Davis bisa jadi pukulan telak bagi May yang tak punya banyak dukungan di Parlemen. Peristiwa ini juga menunjukkan bagaimana pemerintah Inggris terpecah dalam menyikapi keputusan yang diambil via referendum 2016 lalu.
Dengan perbandingan suara 52-48 persen, warga Inggris memutuskan untuk mengakhiri keanggotaan negaranya di Uni Eropa yang telah berlangsung selama 43 tahun, 23 Juni 2016. Hasil mengejutkan membuat perdana menteri dari partai Konservatif, David Cameron, mengundurkan diri. Dia adalah orang yang menggelar referendum dan memimpin kampanye untuk tetap jadi anggota blok benua biru.
Johnson yang merupakan tokoh pemimpin kampanye Brexit mundur dari perlombaan menuju kursi peninggalan Cameron, di menit-menit terakhir. May, menteri dalam negeri yang saat itu telah menjabat enam tahun, resmi jadi PM pada 11 Juli.
![]() |
Pada 13 Maret, Parlemen meloloskan undang-undang untuk memicu Pasal 50 kesepakatan Uni Eropa yang mengatur proses kepergian suatu negara dari organisasi tersebut.
Amandemen lain, untuk menjamin status warga Eropa yang tinggal di Inggris dan memberi Parlemen hak suara di kesepakatan akhir, ditolak.Pemerintah Inggris resmi memicu Pasal 50 pada 29 Maret, melalui surat kepada Presiden Uni Eropa Donald Tusk. Rentang waktu dua tahun dalam proses itu berakhir pada 29 Mei 2019.
Saat itu, Davis mengatakan rangkaian negosiasi terpenting Inggris akan segera dimulai, dalam dialog pemungkas soal perjanjian perceraian.
Untuk memanfaatkan situasi yang menunjukkan pelemahan oposisi, partai Buruh, May menggelar pemilu sela pada 8 Juni. Dia berharap langkah ini bisa memperkuat cengkramannya dalam menghadapi Brexit.
Alih-alih mendapatkan keuntungan, partai Konservatif malah kehilangan mayoritas di parlemen. Mereka terpaksa membentuk koalisi dengan Partai Uni Demokratik Irlandia Utara (DUP) untuk bisa memerintah.Masalah jaminan Inggris untuk membuka perbatasan antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia pasca-Brexit jadi salah satu poin utama dalam rangkaian negosiasi.
![]() |
Awal Desember 2017, Inggris dan Uni Eropa menyepakati sejumlah poin dalam perjanjian perceraiannya, termasuk soal undang-undang UE di Inggris.
Para pemimpin Uni Eropa merestui dialog Brexit tahap selanjutnya, terkait soal cara Inggris berdagang dengan blok tersebut usai perpisahan.Undang-undang soal keputusan untuk meninggalkan Uni Eropa disahkan pada 26 Juni 2018 dengan persetujuan resmi Ratu Elizabeth II, menyusul perdebatan panjang yang berlangsung selama berbulan-bulan.
UU itu mengalihkan banyak hukum Eropa ke buku statuta Inggris dan mengabadikan "hari Brexit" pada 29 Maret 2019.
Tak lama kemudian, krisis dimulai usai May mendapatkan persetujuan dari kabinet untuk mengupayakan "area perdagangan bebas Inggris-Uni Eropa" yang bakal mempertahankan kesepahaman kuat dengan UE pasca-Brexit.
Dua hari kemudian, David Davis, menteri Brexit yang skeptis pada Eropa, mengundurkan diri bersama wakilnya. Menurutnya, May terlalu mudah memberi dalam negosiasi.Langkah itu diikuti Boris Johnson yang sempat mengkritisi cetak biru Brexit secara pribadi.
Kedua menteri tak sepakat dengan cara terbaik untuk maju dalam negosiasi, kata May di hadapan Parlemen.
(aal)
ARTIKEL TERKAIT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Drama Brexit, Dari Referendum ke Krisis Kabinet"
Post a Comment