Di usia 38 tahun ibu rumah tangga asal Kenya yang menikah di usia 17 tahun tanpa pendidikan atau keahlian, harus berbagi rumah dan suami dengan perempuan yang berusia hampir setengah dari usianya.
"Saya sangat bergantung pada suami. Tidak ada pilihan kecuali menerima dan berdiam diri," ujar Joyce yang kini berusia 58 tahun, di kantor yayasan hak-hak perempuan di pinggiran kota Nairobi.
"Semua berubah setelah isteri baru pindah ke rumah. Dia (suami) tidak lagi sayang. Tidak ada lagi uang bayaran, membeli baju dan mainan. Keluarga barunya didahulukan, tetapi anak-anak saya bahkan tidak tamat SMA."
Karena tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup, Joyce menikahkan anak-anak perempuannya sebelum berusia 18 tahun. Putra-putranya putus sekolah untuk bekerja sebagai buruh anak untuk membantu keluarga.
Memiliki isteri lebih dari satu hal biasa di seperempat wilayah dunia, terutama di masyarakat Afrika konservatif yang didominasi oleh pria dan negara berpenduduk mayoritas muslim tempat poligami bagian dari tradisi atau agama.
Para pegiat mengatakan sebagian besar pernikahan poligami di Kenya, dan negara Afrika lainnya, memicu kemiskinan karena para suami menelantarkan satu keluarga untuk menanggung keluarga baru.
Sensus Penduduk dan Perumahan Kenya paling baru menyebutkan hampir 1,5 juta warga Kenya atau 10 persen dari pasangan menikah, melakukan poligami.
Tetapi kelompok-kelompok pegiat perempuat mengatakan angka ini jauh dari angka sebenarnya karena praktek poligami merupakan bagian dari tradisi dan tidak didaftarkan.
Meski menyebabkan kaum perempuan dan anak-anak rentan akan kemiskinan, pegiat di Kenya tidak meminta praktek poligami dilarang. (Nita Bhalla/Thomson Reuters Foundation)
|
"Poligami adalah faktor penyebab utama kemiskinan kaum pria yang sebenarnya tidak mampu melakukan pernikahan dengan lebih dari satu isteri. Dan kaum perempuan dan anak-anak yang paling menderita," kata Teresa Omondi-Adeitan, direktur eksekutif dari Federasi Pengacara Perempuan Kenya.
"Kadang-kadang mereka diusir dari rumah ketika isteri baru tiba dan ketegangan pun muncul. Di sejumlah kasus, suami harus berbagi pendapatan yang kecil dengan seluruh isterinya. Akhirnya uang, makanan dan kebutuhan lain bagi masing-masing menjadi lebih sedikit."
Kemiskinan
Konvensi PBB tentang Pengentasan Segala Bentuk Diskriminasi pada Perempuan menyebutkan bahwa poligami seharusnya tidak dianjurkan dan dilarang karena tidak ada kesetaraan dalam perkawinan semacam itu dan memiliki dampak emosi dan keuangan yang negatif terhadap perempuan dan anak-anak.
Faktor tradisi juga memainkan peran penting karena ada pandangan bahwa keluarga besar merupakan kebanggaan, lambang kemakmuran dan status sosial tinggi dan melindungi kaum perempuan di masyarakat yang melarang mereka memiliki sumber daya seperti tanah.
Meski modernitas berkembang pesat dan kesadaran akan hak kaum perempuan yang semakin meluas, poligami tetap legal di sebagian besar negara-negara Afrika. Praktek ini pun terjadi luas di segala lapisan masyarakat mulai dari petani hingga politisi senior seperti mantan Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma yang memiliki enam isteri.
Untuk memastikan praktek poligami bisa berjalan sukses, kaum isteri harus percaya dengan praktek ini dan suami harus memiliki penghasilan cukup untuk semua anggota keluarganya.
Namun, ini tidak terjadi di kebanyakan perkawinan poligami.
Biro Statistik Kenya mencatat hampir 43 persen rumah tangga poligami adalah rumah tangga miskin, dibandingkan dengan 27 persen warga miskin di perkawinan monogami.
Biro ini mencatat 46 persen rumah tangga miskin terjadi pada perempuan yang suaminya memiliki isteri baru dan tinggal terpisah.
'Seks untuk Bertahan Hidup'
Ketika sebagian besar perempuan Kenya lebih miskin dari kaum lelaki, ibu tunggal kesulitan menyediakan makanan, biaya pendidikan dan kesehatan atau keamanan bagai anak-anak mereka.
Akibatnya, anak mereka rentan terkena penyakit mulai dari malaria hingga kurang gizi, putus sekolah atau sudah bekerja. Mereka juga berisiko menikah dini, menjadi korban perdagangan seks dan kerja paksa.
"Ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak rentan, tetapi pengalaman kami memperlihatkan bahwa kemiskinan adalah faktor utama," ujar Angela Nyamu, direktur badan amal Terres Des Hommes.
Mulai dari daerah kumuh hingga pinggir pantai Kenya, ribuan anak melakukan "hubungan seks untuk bertahan hidup" dengan imbalan sekantong gula, sepotong ikan atau tumpangan pulang ke rumah.
Dalam banyak kasus perilaku ini terkait dengan poligami.
"Ayah saya kawin lagi dan ibu, saudara saya harus keluar rumah," ujar Monasha, 19, yang mulai bekerja sebagai pekerja seksual komersial di tempat wisata pantai Diani ketika berusia 15.
"Saya harus berhenti sekolah dan membantu di rumah. Saya mulai melakukan ini ketika tidak ada pekerjaan lain yang menghasilkan uang," katanya kepada Yayasan Thomson Reuters.
Perempuan dan anak-anak menjadi pihak yang paling terkena dampak poligami di Kenya, dalam banyak kasus harus tinggal di daerah kumuh karena suami kawin lagi. (AFP/Yasuyoshi Chiba)
|
Mereka meminta pemerintah untuk menerapkan aturan yang mewajibkan pendaftaran perkawinan poligami agar kaum perempuan bisa memiliki bukti resmi atas perkawinan itu sehingga memudahkan mereka menuntut biaya perawatan anak atau mengklaim aset dan properti suami mereka.
"Kriminalisasi tidak selalu menjadi jawaban," ujar Judy Gitau, pengacara hak perempuan dari Yayasan Equality Now.
"Jika aturan ini diterapkan dan kaum perempuan mendapatkan haknya, situasi akan berubah dengan perlahan dan kesadaran sosial yang lebih besar pada akhirnya akan membuat praktek poligami hilang." (yns)
Baca Kelanjutan Poligami di Kenya Sebabkan Kemiskinan Kaum Perempuan : https://ift.tt/2KSPaaCBagikan Berita Ini
0 Response to "Poligami di Kenya Sebabkan Kemiskinan Kaum Perempuan"
Post a Comment