"Rumah kami hancur. Kami terendam banjir. kami tidak mengungsi karena kami tidak ini meninggalkan carabao (kerbau air) dan ternak kami," kata seorang warga lokal, Diday Llorente, kepada AFP.
Llorente tinggal di daerah pertanian di pesisir Baggao yang berpenduduk sekitar 80.000 orang. Daerah itu yang terkena serangan langsung topan Mangkhut pada Sabtu (15/9) malam hari.
Di kawasan pertanian di pulau Luzon bagian utara itu, sekitar seperempat penduduk hidup dalam kemiskinan, pendapatan mereka kurang dari US$2 atau setara Rp29 ribu per hari.
Bagi seorang petani seperti dirinya, tidak ada asuransi yang memberikan kompensasi untuk tanaman hancur atau ternak mati. Tak ada pula tabungan untuk menghidupi saat paceklik.
"Jika kita berpikir dari perspektif mereka, ini merupakan aset terbesar mereka. Hanya ini yang mereka miliki," kata Lot Felizco, Direktur untuk Badan Amal Oxfam Philippines kepada AFP.
"Ini benar-benar memilukan. Bagi orang-orang yang hidup dalam situasi sulit dan berbahaya, mereka tak punya pilihan."
Tidak ada jaminan hidup
Keputusan untuk tidak ikut evakuasi menyimpan konsekuensi tak terkira. Namun, kematian 7.350 orang saat Topan Haiyan pada 2013 saja tak membuat para petani takut.
Bagi warga Baggao, hanya kehilangan hasil panen mereka akibat cuaca buruk atau pencurian yang menjadi ancaman bagi mereka.
![]() |
"Seseorang masuk ke rumah saya dan mencuri setengah karung beras. Jadi saya tidak ingin mengambil risiko kali ini," kata dia.
Kerugian itu berkisar 25 kilo bahan pokok yang dikonsumsi setiap kali makan di Filipina. Persediaan yang cukup memang masih menjadi perhatian utama dalam rumah tangga kaya maupun miskin.
"Kami memutuskan untuk tidak mengungsi," kata Acopan.
Masalah lain dari evakuasi adalah tak ada jaminan apa pun. Tempat penampungan di Filipina umumnya tak memadai, biasanya hanya beberapa ruang lantai di sekolah atau tempat gym.
"Mereka kehilangan kendali atas apa pun yang mereka miliki dalam situasi itu," kata Felizco.
Namun, tidak ada pula jaminan jika mereka tetap menjaga tanaman atau ternak, mereka bisa bertahan hidup.
Dalam kasus Mangkhut, angin kencang bisa mencapai 255 kilometer perjam serta curah hujan tinggi di beberapa daerah selama satu bulan.
Mary Anne Baril menjadi saksinya ketika topan itu menerjang daerah sekitar rumahnya, merusak tiang listrik, ladang-ladang pertanian, dan menyebabkan pohon-pohon tumbang, termasuk miliknya.
"Kami sudah miskin, kemudian badai ini terjadi pada kami. Kami tidak punya cara lain untuk hidup," katanya kepada AFP sambil menyeka air mata. (cin/has)
Baca Kelanjutan Topan Mangkhut, Petani Filipina Pertaruhkan Nyawa Jaga Ladang : https://ift.tt/2DfJIjFBagikan Berita Ini
0 Response to "Topan Mangkhut, Petani Filipina Pertaruhkan Nyawa Jaga Ladang"
Post a Comment