Polemik ini sebenarnya bermula ketika Venezuela menggelar pemilihan umum pada 20 Mei 2018. Saat itu, popularitas Maduro terpuruk di tengah protes masyarakat yang menganggapnya gagal membawa Venezuela keluar dari krisis.
Di bawah pemerintahannya, Venezuela mengalami hiperinflasi hingga 10 juta persen, krisis produksi minyak, tingkat kelaparan dan kriminalitas yang tinggi, hingga berujung pada kemiskinan.
Sejumlah kejanggalan pada pilpres itu kemudian mulai menuai kecurigaan berbagai pihak, termasuk tanggal penyelenggaraannya. Awalnya, pemilu dijadwalkan digelar pada Desember 2018, tapi kemudian dipercepat menjadi 22 April hingga 20 Mei 2018.
Sejak Februari 2018, pemimpin koalisi oposisi Venezuela menyatakan akan memboikot pilpres. Mereka percaya pilpres tersebut sudah diatur untuk memenangkan Maduro.
Maduro akhirnya memenangkan pilpres 2018 dengan perolehan 67,7 persen suara dan kembali memegang kekuasaan hingga 2025.
Dengan 92 persen suara terhitung, koalisi oposisi Broad Front mengklaim hanya sekitar 30 persen masyarakat Venezuela yang memberikan suaranya dalam pilpres 2018.
Dua kandidat lawan Maduro di pilpres, yakni Henri Falcon dan Javier Bertucci, menolak hasil pilpres tersebut dan menyatakan bahwa proses pemilu tidak sah.
Falcon mengecam pilpres tersebut sebagai pemilu sistematis. Ia menuding pemerintah memberikan imbalan agar masyarakat memilih Maduro, dan pengawas pemilu dilarang mengawasi di banyak tempat pemilihan.
![]() |
Negara-negara seperti AS, Australia, hingga organisasi internasional mulai dari Perserikatan Bangsa Bangsa, Uni Eropa, hingga Organisasi Negara Amerika pun meragukan keabsahan pilpres itu.
Meskipun menuai banyak kritik, Maduro tetap disumpah kembali menjadi presiden Venezuela pada 10 Januari 2019.
Semenjak Maduro mengambil sumpah, berbagai aksi protes melawan pemerintahannya menyemut di berbagai penjuru negara.
Sehari setelah Maduro resmi menjadi presiden, Guaido mengadakan demonstrasi di Caracas. Saat itu, Majelis Nasional menyatakan Guaido sebagai sosok presiden interim Venezuela sesuai konstitusi.
Pada 13 Januari, Guaido ditahan oleh Layanan Intelijen Bolivarian (SEBIN) selama 45 menit. Beberapa hari setelah itu, sekelompok mantan tentara dan polisi di Peru mengumumkan dukungan mereka untuk Guaido, diikuti dengan demonstrasi dukungan ribuan warga di Carabobo, Valencia, dan kota-kota lain.
Rentetan protes terus bergulir hingga kini, dengan dukungan dari berbagai pejabat tinggi negara-negara lain, termasuk Presiden AS, Donald Trump, dan wakilnya, Mike Pence.
Setidaknya 13 orang dilaporkan tewas dalam dua hari demonstrasi besar-besaran melawan Maduro, Senin pekan ini. Di hari yang sama, 27 personel militer ditahan otoritas Venezuela karena menyatakan keinginan membelot.
Dalam sebuah video, puluhan tentara itu mengajak masyarakat untuk mendukung mereka dengan menggelar aksi pada Senin (21/1). Para warga pun turun ke jalan, menggelar aksi yang kemudian berujung ricuh.
Demonstrasi ini disebut-sebut sebagai bentrokan paling signifikan antara pemerintah dan oposisi setelah protes sebelumnya yang menewasan 125 orang antara April dan Juli 2017.
Di tengah kisruh ini, pemimpin Majelis Nasional, Juan Guaido, mendeklarasikan diri sebagai presiden interim Venezuela dan langsung mendapatkan dukungan dari Trump dan sejumlah pemimpin negara Amerika Latin lainnya.
Menurut Trump, Majelis Nasional pimpinan Guiado adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang sah pilihan rakyat Venezuela.
Di tengah ketidakjelasan kepemimpinan ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta Venezuela menggelar dialog untuk menghindari krisis politik. (fey/has)
Baca Kelanjutan 'Kudeta' Venezuela, Kisruh Pemilu Berujung Perebutan Takhta : http://bit.ly/2FVLUMGBagikan Berita Ini
0 Response to "'Kudeta' Venezuela, Kisruh Pemilu Berujung Perebutan Takhta"
Post a Comment