Alinader Minalang, Direktur Kesehatan Provinsi Lanao del Sur menyatakan setidaknya 19 orang tewas di pusat evakuasi sejak 23 Mei silam.
Minalang menyebut terdapat lebih dari 40 ribu pengungsi yang memadati tempat penampungan di balai warga, gedung olahraga dan sekolah. Namun, sanitasi lokasi yang tidak memadai serta tempat penampungan yang terlalu padat, membuat kesehatan para pengungsi terus menurun. Tercatat, sekitar 300 pengungsi menderita diare akut.
Mereka yang akhirnya meninggal, sebut Minalang, telah berusia lanjut atau sebelumnya punya penyakit parah. Namun, terdapat dua orang yang tewas karena diare.
“Penyebab peningkatan kasus diare di pengungsian karena isu sanitasi dan kekuarangan air bersih,” sebut Minalang, dilansir Reuters.
Di pusat pengungsian, keluarga yang terdiri dari belasan orang terpaksa tidur bersama di lantai keras tanpa alas. Lainnya, puluhan pengungsi harus berbagi satu toilet.
“Anak-anak saya kini sakit. Satu terkena diare, satu lagi alergi kulit. Air yang kami gunakan di sini tidak bagus,” kata Tarhata Mostare, salah satu dari 800 pengungsi yang tinggal di aula sebuah sekolah di Iligan City, 40 kilometer dari Marawi.
Mostare, yang keluar dari Marawi dengan ribuan pengungsi lainnya, padahal waktu itu dia baru saja melahirkan anak ke-limanya. Demi menyelamatkan diri, dia harus berjalan berjam-jam dengan bayi dalam gendongan dan baju yang masih berlumuran darah.
“Anak ini kami panggil Martial Law,” kata Mostare, tersenyum.
Para pengungsi berkeinginan pulang kembali ke rumah mereka sebelum Hari Raya Idul Fitri. Namun, bagi banyak orang, itu tidak mungkin bisa terwujud, karena rumah mereka hancur akibat baku tembak dan serangan udara.
“Saya akan jadi orang paling bahagia di dunia, jika saya bisa pulang [sebelum Idul Fitri]” kata Salema Ampasong, 28, yang tinggal bersama 1000 pengungsi lainnya di sebuah gimnasium di kota Balo-i, tidak jauh dari Marawi.
Ampasong, yang sebelumnya berprofesi sebagai penjual buah, mengaku kehilangan segalanya karena bentrokan itu. “Tapi saya tetap ingin pulang,” kata dia.
Di Balo-i, hanya terdapat satu toilet yang memadai untuk lebih dari 1000 pengungsi. Di sana tidak ada wastafel untuk mencuci tangan, tidak ada pula keran air. Pengungsi harus pergi ke sungai untuk mandi, mencuci dan terkadang, buang air besar.
Selain urusan toilet, malnutrisi juga jadi kekhawatiran lainnya.
Melia Sarap, pakar nutrisi Lanau del Sur mengatakan survei yang dilakukan pusat kesehatan terhadap 600 pengungsi menyebut terdapat 6 kasus malnutrisi akut dan 20 kasus kekurangan gizi moderat.
“Pusat penampungan sangat padat dan infeksi penyakit yang menjangkiti bisa berujung pada malnutrisi,” kata Sarap. “Jika hanya berpatok pada rasio, angka malnutrisi bisa terus meningkat, terutama pada ibu menyusui dan balita,” ujarnya menambahkan.
Pada tanggal 23 Mei silam, Presiden Rodrigo Duterte memberlakukan darurat militer bagi wilayah Mindanao yang tengah digempur oleh militan Maute yang telah bersumpah setia pada ISIS.
Selama satu bulan bentrokan, pasukan keamanan Filipina menyebut 350 orang tewas, termasuk 257 militan, 62 tentara dan 26 warga sipil. Sementara itu ratusan warga lainnya masih dinyatakan hilang.
(les)
Baca Kelanjutan Puluhan Warga Marawi Tewas di Pengungsian : http://ift.tt/2rvyZacBagikan Berita Ini
0 Response to "Puluhan Warga Marawi Tewas di Pengungsian"
Post a Comment