Search

Peliknya Upaya 'Mengubah Takdir' Zaini Misrin

Jakarta, CNN Indonesia -- Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel merasa perlu untuk memaparkan upaya-upaya yang dia lakukan untuk menyelamatkan Muhammad Zaini Misrin, yang telah diputuskan untuk dihukum mati, tanpa niat keluarga untuk mengampuni.

"Sebagai pelayan WNI di Arab Saudi, kami garda terdepan Diplomasi Indonesia, berkewajiban memaparkan ikhtiar-ikhtiar kami sebagai bentuk pertanggungjawaban publik agar bisa dipahami," kata Dubes Agus Maftuh kepada CNN Indonesia.com, Jumat (23/3).

Berikut penuturan, Agus Maftuh, terkait upaya penyelamatan Zaini Misrin dari hukuman mati. Upaya tersebut berakhir pada Minggu (18/3) pukul 11.00 lantaran keluarga korban mendesak agar Zaini dieksekusi.

"Presiden Joko Widodo memberikan perhatian sangat serius terhadap kasus hukuman mati WNI atas nama Muhammad Zaini Misrin Arsyad (MZMA) yang dituduh telah membunuh majikannya Abdullah bin Umar bin Muhammad Al Sindy pada 2004  atau 14 tahun lalu.

Presiden Joko Widodo telah melakukan extra-ordinary action dengan mengirim dua surat ke Khadimul Haramain, Raja Salman bin Abdulaziz.

Pertama pada Januari 2017, menjelang kunjungan bersejarah Khadimul Haramain, Raja Salman bin Abdul Aziz ke Indonesia, Presiden Rl Joko Widodo mengirimkan surat permintaan penundaan eksekusi atas putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati atau qisas kepada WNI Muhammad Zaini Misrin Arsyad.

Kedua pada Oktober 2017, Presiden Joko Widodo kembali mengirimkan surat yang sangat panjang, tiga lembar kertas berukuran A4 dengan 1 spasi.

Isi surat tersebut pada intinya,menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Khadimul Haramain atas perhatian dan perkenannya memberikan tanggapan terhadap surat Presiden RI yang meminta penundaan eksekusi terhadap Zaini Misrin. Juga meminta agar proses hukum terhadap Zaini dapat ditinjau kembali dengan maksud memberikan kesempatan tambahan kepadanya untuk menggunakan hak pembelaan dirinya secara maksimal.

Kedua surat Presiden RI ini mendapatkan respons yang positif dari Khadimul Haramain. Respon pertama pada Mei 2017, Khadimul Haramain menerbitkan Dekrit Raja perihal penundaan eksekusi hukuman mati qisas terpidana Zaini selama enam bulan.


Adapun respons kedua pada Januari 2018, Khadimul Haramain kembali menerbitkan Dekrit Raja tentang penundaan eksekusi hukuman mati qisas terpidana Zaini Misrin selama dua bulan terhitung sejak tanggal 11 Januari 2018, guna memberikan kesempatan untuk memaksimalkan upaya perdamaian, dengan catatan apabila tidak tercapai perdamaian maka eksekusi akan dilaksanakan sesuai dengan amar yang tercantum dalam putusan.

Penundaan tersebut menunjukkan perhatian serius di level tertinggi terhadap kasus Zaini Misrin, baik Presiden Joko Widodo maupun Raja Salman bin Abdul Aziz.

Namun demikian, hukum pidana yang berlaku di Kerajaan Arab Saudi memberikan hak dan kewenangan mutlak kepada ahli waris korban untuk mengajukan tuntutan terhadap pelaku dengan hukuman yang setimpal, dalam hal ini hukuman mati qisas.

Secara syar'i siapapun tidak dapat mengintervensi, mencegah eksekusi atau memberi pengampunan, bahkan tidak juga Pemimpin Tertinggi di Kerajaan Arab Saudi, Khadimul Haramain, Raja Salman bin Abdul Aziz, kecuali ahli waris itu sendiri.

Bahkan dalam catatan sejarah pelaksanaan eksekusi mati (qisas), Kerajaan Arab Saudi pun telah mengeksekusi mati dua pangeran. Eksekusi pertama terjadi pada tahun 1975, yaitu terhadap terpidana Pangeran Faisal bin Musaid bin Abdul Aziz Al Saud dengan cara dipancung karena telah membunuh pamannya, Raja Faisal bin Abdul Aziz Al Saud.


Kasus eksekusi mati yang kedua terjadi pada terpidana Pangeran Turki bin Saud bin Turki bin Saud Al Kabir, karena menembak mati warga Arab Saudi, Adil bin Sulaiman bin Abdul Karim Al Muhaimid pada November 2012.

Proses hukum terhadap Pangeran Turki berlangsung cepat selama kurang lebih empat tahun dan selama rentang waktu tersebut pihak keluarga Pangeran Turki berupaya keras mendapatkan permohonan maaf dari ahli waris dengan menawarkan sejumlah kompensasi diyat/ganti rugi. Namun ahli waris almarhum menolak sehingga akhirnya pada Selasa, 18 November 2016 bertempat di Riyadh Pangeran Turki dieksekusi mati dengan cara dipancung.

Hukuman qisas ini la yufarriqu bainn tajirin wa faqirin wa baina amirin wa muwatinin, tidak membedakan mana konglomerat atau orang miskin, mana pangeran atau rakyat jelata.

Kembali ke persoalan Zaini, tidak lama setelah Agus Maftuh mulai menjalankan tugas sebagai Dubes RI di Riyadh, tim terpadu PWNI-KBRI-KJRI bersama pengacara Mazen al Kurdi mengkaji putusan guna mencari celah hukum untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak 17 November 2008.

Menindaklanjuti surat Presiden RI tentang permintaan penundaan eksekusi Zaini Misrin, pada 21 November 2017 melalui nota diplomatik ke Kemenlu Saudi, Agus Maftuh menemui Pangeran Abdul Aziz bin Sa'ud bin Nayyef bin Abdul Aziz, Menteri Dalam Negeri Saudi.


Pada 11 Desember 2017, KBRI kembali mengirimkan nota diplomatik ke Kemenlu Saudi, berisi lampiran surat saya kepada Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri. Isi surat kepada Menteri Kehakiman Saudi, secara khusus memohon perhatian atas permintaan Presiden RI kepada Khadimul Haramain terkait peninjauan kembali proses hukum atas putusan yang menjatuhkan hukuman mati qisas kepada Zaini Misrin. sekaligus menjelaskan adanya informasi bukti baru berupa keterangan dari salah seorang penerjemah saat proses penyidikan berlangsung.

Adapun surat kepada Menteri Dalam Negeri Saudi, intinya meminta bertemu terkait terbitnya Dekrit Raja yang memerintahkan penundaan eksekusi selama enam bulan.

Awal Januari 2018, KBRI menerima nota diplomatik Kemenlu Saudi yang intinya, merujuk surat Dubes Agus Maftuh Abegebriel, Kementerian Kehakiman KSA menyampaikan pemberitahuan bahwa terpidana atau kuasa hukumnya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Pengadilan dengan menggunakan bukti baru. Fase ini adalah awal munculnya sebuah seberkas cahaya terang untuk menerangi lorong kasus Zaini Misrin.

Pada 30 Januari 2018, KBRI menerima nota perihal pemberitahuan tentang putusan vonis mati qisas telah berkekuatan hukum tetap, sehingga terpidana hanya memiliki kesempatan mengupayakan pemaafan dari ahli waris korban sebelum dilakukan eksekusi.

Tim dan pengacara melakukan komunikasi dengan keluarga korban dan menemui jalan buntu. Lorong satu-satunya yang masih memungkinkan adalah mengoptimalkan upaya hukum pengajuan PK guna disampaikan langsung ke Kantor Kementerian Kehakiman Saudi.


Namun pada Minggu pagi, 18 Maret 2018, ada informasi dari sumber informal tentang indikasi akan dilakukan eksekusi terhadap terpidana Zaini Misrin.

Tim KJRI pada kesempatan pertama melakukan pemantauan di Penjara Mekkah dan pada sekitar pukul 11.00 waktu Arab Saudi, terpidana Zaini Misrin dieksekusi di sektor Al Umroh dan kemudian dikebumikan di Pemakaman Umum Al Syara'i Mekkah al-Mukarramah.

Pada hari yang sama, sekitar pukul 17.00 waktu Saudi, KBRI menerima notifikasi Kemenlu Saudi sebagai pemberitahun telah dilaksanakan eksekusi hukuman mati terhadap terpidana Zaini Misrin.

Dengan pelaksanaan eksekusi tersebut, besar kemungkinan Mahkamah Ulya (Mahkamah Agung) memandang alasan PK juga belum cukup kuat untuk membatalkan vonis inkracht tersebut.

Presiden RI Joko Widodo dan Pemerintah RI, baik Kemenlu RI maupun Perwakilan RI di Arab Saudi telah secara maksimal melakukan upaya-upaya pembelaan terhadap almarhum Zaini, baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi.

Namun sayang harus terhenti dengan dilaksanakannya eksekusi pada Minggu, 18 Maret 2018 pukul 11 waktu Saudi, setelah melalui jalan panjang proses hukum sejak tanggal 13 Juli 2004, Zaini ditangkap aparat kepolisian di Mekkah dengan tuduhan membunuh majikannya almarhum Abdullah bin Umar bin Muhammad Al Sindi.


Sebagai dua negara bersahabat yang sedang berada di masa keemasan bilateral, KBRI sangat menyesalkan tidak adanya notifikasi atau pemberitahuan dari Saudi sebelum dilakukan eksekusi mati Zaini Misrin. Hal tersebut mencederai rasa kepatutan dalam hubungan persahabatan yang terjalin antara kedua negara.

Namun demikian, KBRI dapat memahami bahwa berdasarkan Hukum Internasional merujuk pada Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Kekonsuleran (Konvensi Wina 1963) dimana Indonesia dan Arab Saudi telah menjadi anggota melalui aksesi masing- masing pada tanggal 4 Juni 1982 dan 29 Juni 1988, tidak ada kewajiban bagi Pemerintah Arab Saudi maupun Indonesia untuk menyampaikan notifikasi terkait pelaksanaan hukuman mati warga negara baik Indonesia maupun Arab Saudi.

Konvensi Wina 1963 tidak mengatur kewajiban negara anggotanya untuk menyampaikan pelaksanaan hukuman mati bagi warga negara asing. Konvensi Wina 1963, Pasal 37 (a) hanya mengatur kewajiban menyampaikan kematian Warga Negara Asing kepada Kantor Perwakilan Asing terkait terdekat. Dalam kasus Zaini Misrin, Pemerintah Arab Saudi telah menyampaikan berita kematian Zaini kepada KBRI Riyadh, empat jam setelah eksekusi hukuman mati dilaksanakan.

Terkait Mandatory Consular Notification (MCN), sampai saat ini, Indonesia dan Arab Saudi tidak memiliki perjanjian kerja sama di bidang MCN yang mewajibkan kedua belah pihak menyampaikan informasi terkait rencana pelaksanaan hukuman mati. Sebagai catatan, Pemerintah Arab Saudi tidak memiliki kerja sama MCN dengan negara manapun di dunia.

(nat)

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Peliknya Upaya 'Mengubah Takdir' Zaini Misrin : https://ift.tt/2pBlq9u

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Peliknya Upaya 'Mengubah Takdir' Zaini Misrin"

Post a Comment

Powered by Blogger.