Pada dasarnya, pemerintah maupun universitas di China sangat membantu mereka yang 'haus ilmu' di Indonesia dalam menempuh pendidikan di sana. Terbukti banyak sekali mahasiswa Indonesia yang memperoleh beasiswa, baik dari pemerintah maupun dari masing-masing universitas tempat mereka belajar.
Berbekal dengan ketertarikan dalam bidang pemerintahan, saya memutuskan untuk kembali duduk di bangku perkuliahan.Saya lalu memilih Public Management di School of Political Science and Public Administration, University of Electronic Science and Technology of China, Chengdu.
Keputusan pemilihan tersebut pada dasarnya susah susah gampang. Hal ini mengingat ideologi China yang berbeda dengan sistem pemerintahan Indonesia, sesuatu yang saya pelajari di jurusan Administrasi Publik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Profesor saya di sini bersikeras bahwa negara mereka sudah mulai mempraktikan konsep demokrasi pada sistem pemerintahannya, sehingga tidak ada lagi istilah komunisme melainkan "demokrasi terpimpin".
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan soal apakah ilmu yang saya peroleh akan berguna di Indonesia.
Setelah beberapa saat menikmati kuliah, saya akhirnya berkesimpulan bahwa banyak hal positif yang dapat dipraktikan dan bermanfaat bagi Indonesia kelak.
Sistem perkuliahan disini, terutama di kampus tempat saya belajar sangat berbeda jauh dengan apa yang sudah saya lalui sewaktu di Indonesia.
Sejak saya menapakkan kaki di Chengdu pada 2016, tiap mata kuliah dijalani dengan lebih intens. Untuk satu mata kuliah yang di Indonesia mungkin hanya satu kali pertemuan dalam seminggu, di sini bertambah menjadi dua kali.
Pembagian jam perkuliahan dibagi menjadi tiga bagian, pagi-siang, siang-sore serta sore-malam. Masing masing diselingi oleh waktu istirahat kurang lebih 2-3 jam, tergantung dengan mata kuliah yang diambil. Bukan hal yang aneh apabila ada perkuliahan yang berakhir hingga pukul 10 bahkan 11 malam.
Segala fasilitas dari mulai gymnasium, termasuk kolam renang indoor dan outdoor, rumah sakit, toko serba ada, printing station, restoran, serta kantin mereka sediakan dalam satu lingkungan kampus. Asrama bagi mahasiswa perantau juga disediakan dalam satu lingkungan fasilitas tersebut.
![]() |
Satu hal yang mungkin tidak banyak diketahui dan patut diapresiasi adalah perhatian pemerintah China untuk memeratakan kesempatan pendidikan maupun pelayanan bagi kelompok minoritas.
Misalnya sebagai seorang muslim, saya tidak perlu khawatir soal makanan yang saya makan karena di tiap-tiap kampus termasuk kampus saya, disediakan khusus kantin muslim yang menyediakan makanan halal.
Tak hanya pemerintah pusat, pemerintah lokal juga sangat perhatian dengan kelompok marjinal, seperti kaum muslim. Setidaknya di Chengdu terdapat empat buah mesjid, yang terbesar ada di pusat kota.
Karena itulah, kabar yang menyebut bahwa mahasiswa Indonesia di China mendapatkan pelajaran soal ideologi komunisme sangat mengganggu saya.
Sejujurnya, kami, para mahasiswa Indonesia yang langsung belajar di Negeri Tirai Bambu sendiri cukup kaget mengetahui pemberitaan tersebut. Kabar yang tersiar itu sangat tidak sesuai dengan apa yang kami alami langsung.
Jangankan ada mata kuliah khusus, saya yang bersentuhan langsung dengan ilmu terkait pemerintahan tidak pernah sekalipun menerima informasi dalam bentuk apapun mengenai -isme tersebut bahkan saat perkuliahan atau diskusi berlangsung.
Justru kami, mahasiswa di sekolah saya berusaha untuk mengorek lebih dalam lagi mengenai sistem pemerintahan yang mereka miliki. Meski tak mendapat jawaban soal bagaimana bisa mereka mengklaim telah mengimplementasikan praktik demokrasi tetapi hak masyarakat dibatasi terutama dalam pemilihan pemangku kepentingan di kursi pemerintahan.
Saya masih ingat, dalam mata kuliah Comparative Governance, profesor saya mencoba membandingkan sistem pemerintahan Amerika Serikat dengan Cina.
Dia menyatakan bahwa pada dasarnya Cina juga sudah menjalankan sistem pemilihan berdasarkan pilihan rakyat. Rakyat disini diartikan sebagai suara rakyat yang diwakilkan oleh orang-orang penting yang menduduki jabatan bergengsi di kursi pemerintahan yakni elit partai atau anggota kongres.
Kami pun berdiskusi, mempertanyakan dimana nilai demokrasi yang dia sebut tadi apabila praktik pemilihan dilakukan secara demikian.
Di akhir perdebatan, sang professor pun berkata, "apabila kalian ini mahasiswa China, mungkin diskusi ini sudah pasti dibubarkan, saya bisa diberhentikan sebagai dosen, atau lebih buruk kita bisa sama-sama masuk penjara."
Kembali ke isu komunisme, saya sangat menyayangkan pihak-pihak yang berusaha untuk menyebarkan isu tersebut apalagi sampai ditulis menjadi sebuah berita pada salah satu portal berita terkemuka di Indonesia. Meskipun pada akhirnya telah di klarifikasi bahwa itu tersebut tidak benar.
Apalagi saat ini, media dalam bentuk apapun memiliki peranan yang sangat penting bagi perkembangan masyarakat. Melesatnya kemajuan teknologi informasi, dimana masyarakat dapat dengan mudah menerima suatu informasi hanya dalam hitungan detik melalui telepon genggamnya. Hal ini menjadikan berita portal sebagai alternatif favorit bagi masyarakat untuk memperoleh pengetahuan atau bahkan ilmu sekalipun.
Saya berharap tersebarnya informasi yang tidak benar itu tak akan terulang. Kemajuan teknologi informasi sedapatnya dibarengi dengan upaya media online memberikan 'pendidikan' bagi masyarakat di Indonesia bukan justru menebar informasi yang salah dan cenderung menjerumuskan. Lets educate the uneducated.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: ardita@cnnindonesia.com, ike.agestu@cnnindonesia.com, vetricia.wizach@cnnindonesia.com.
Kami tunggu!
(nat)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menimba Ilmu di Antara -isme Negeri Panda"
Post a Comment