
Ironisnya pernyataan itu diutarakan Hun Sen setelah dirinya membubarkan Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), salah satu partai oposisi utama pesaing partai berkuasanya, Partai Rakyat Kamboja (CPP).
CNRP dibubarkan dengan alasan pemimpinnya, Kem Sokha, dinilai Hun Sen telah mengkhianati negara. Politikus sekaligus aktivis berusia 65 tahun itu bahkan saat ini masih berada di sel tahanan.
Oposisi menilai pembubaran CNRP dilakukan sebagai upaya Hun Sen mengamankan kemenangan di pemilu Minggu (29/7) lalu. Terbukti, PM yang berkuasa sejak 30 tahun lalu itu dipastikan berkuasa lagi untuk 5 tahun ke depan setelah CPP menang telak pemilu dengan meraup 80 persen suara.
Meski ada sekitar 20 partai lainnya yang ikut dalam pemilu keenam Kamboja kemarin, partai-partai itu dianggap hanya untuk "meramaikan" gelaran pesta demokrasi yang pada akhirnya dimenangkan kembali oleh partai berkuasa.
Sebab, sebagian besar partai tersebut hanya memiliki dukungan tidak lebih dari tiga persen di pemilu 2013 lalu. Sementara itu, CNRP berhasil meraup 44 persen suara, beda tipis dengan CPP yang meraih 48 persen dukungan.
"Jika melihat istilah sistem partai tunggal, dari dulu sebenarnya Kamboja sudah terapkan sistem satu partai--di mana partainya memang banyak, tapi yang menang dan dominan hanya satu, CPP," kata pengamat hubungan internasional Dinna Wisnu kepada CNNIndonesia.com, Selasa (31/7).
"Kamboja memang memiliki partai-partai lain, tapi selain CNRP sebagian besar partai itu berpihak pada pemerintah. Sementara partai-partai pengkritik disingkirkan."
Menurut Dina, pemilu Kamboja kemarin menyalahi nilai dan prinsip demokrasi. Hal itu terlihat dari nihilnya kebebasan rakyat untuk memilih pemimpin dan berpolitik. Hal itu terlihat dari warga-warga lokal yang memilih bungkam saat diwawancarai wartawan di tempat pemungutan suara.
Selain itu, dia mengatakan beberapa tokoh oposisi Kamboja dan media independen yang bersebrangan dengan pemerintah juga turut disingkirkan sebelum pemilu berlangsung. Organisasi-organisasi internasional yang selama ini telah menggelontorkan jutaan dolar untuk mempromosikan demokrasi di Kamboja juga telah diusir.
Menurut Dinna, Hun Sen akan terus berupaya sebisa mungkin mempertahankan kedudukannya di puncak kekuasaan selama mungkin.
Direktur Pascasarjana Program Diplomasi Universitas Paramadina itu mengatakan nihilnya perhatian negara-negara tetangga Kamboja, termasuk Indonesia, semakin membuat Hun Sen nyaman menerapkan sistem demokrasi sesuai keinginannya tanpa ada pengawasan.
Jika terus dibiarkan, Hun Sen dikhawatirkan akan mengubah pemerintahan Kamboja menjadi rezim dinasti.
"Selama Hun Sen hidup, kemungkinan besar dia akan tetap berkuasa. Jika dia sudah tidak ada, mungkin akan ada perubahan kekuasaan di antara calon-calon yang sudah disiapkannya. Ini ibarat bom waktu bagi Kamboja," ujar Dinna.
Hal serupa juga diyakini CNRP, partai yang dibentuk pada 2012 lalu itu menganggap tidak ada cara lain selain menyetop Hun Sen untuk berkuasa demi menyelamatkan demokrasi di Kamboja.
"Hun Sen sendiri telah menyatakan bahwa dia mempersiapkan anaknya untuk menggantikan dia," ujar Monovithya Kem, Wakil Direktur Hubungan Publik CNRP, kepada CNNIndonesia.com di Jakarta.
Menurutnya, komunitas internasional harus bisa menghentikan Hun Sen yang jelas-jelas ingin merusak demokrasi di Kamboja, bahkan di kawasan Asia Tenggara. Kem mengatakan CNRP menganggap hasil pemilu kemarin merupakan kematian demokrasi dan babak baru sejarah gelap di Kamboja.
"Tidak akan pernah CNRP menerima hasil pemilu kemarin. Kami tidak akan membiarkan Hun Sen berkuasa lagi untuk lima tahun ke depan," papar putri Kem Sokha, Presiden CNRP tersebut.
Dikutip The Diplomat, Lee Morgenbesser, pengamat rezim otoritarian, juga menganggap pemilu akhir pekan lalu "sangat tidak" bebas dan adil, bahkan jika CNRP ikut bersaing dalam proses demokrasi tersebut.
Menurut Morgenbesser, pemilu bebas dan adil tak hanya dilihat dari kehadiran oposisi tapi juga komitmen pemerintah menjamin keamanan, kesetaraan, dan kebebasan selama proses itu berlangsung.
"Standar minimum mengharuskan semua pihak dan kandidat tunduk pada prosedur yang sama untuk ikut dalam pemilu tanpa terkecuali. Seluruh kampanye berada di area dan level yang sama. Seluruh peserta pemilu juga harus memiliki akses yang sama ke madia dan para pemilih bebas memilih calon yang disukai," kata Morgenbesser.
Namun, Kamboja dianggap gagal memenuhi setiap standar-standar tersebut walaupun CNRP ikut berpartisipasi.
Sebab, selama kampanye pemilu berlangsung beberapa partai selain CNRP mengaku turut mendapat diskriminasi bahkan ancaman. Beberapa papan iklan dan alat-alat kampanye partai dihancurkan dan dirusak.
Partai Pemuda Kamboja (CYP) bahkan mengklaim pejabat lokal menolak menandatangani formulir pendaftaran pemilu bagi partainya. (nat)
ARTIKEL TERKAIT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menilik Demokrasi Semu dan Ancaman Rezim Dinasti di Kamboja"
Post a Comment