"Beberapa orang takut bicara politik," kata Bo, yang meminta agar namanya dirahasiakan.
Menurut Bo, Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang berkuasa di bawah pimpinan Perdana Menteri Hun Sen selama 33 tahun, menghukum orang-orang yang memberikan suara bagi oposisi.
Di pedesaan Kamboja, Kepala Desa dan penasihat komunitas mengeluarkan dokumen bagi segala hal mulai dari pernikahan hingga pembelian tanah, sehingga orang-orang seperti Bo bergantung pada mereka untuk segala macam transaksi sederhana sehari-hari.
Jika mereka tahu seseorang oposisi, "Anda harus bolak balik tiga empat kali sebelum mereka setuju untuk mengeluarkan dokumen," kata Bo seperti dilansir CNN, dari rumahnya di Distrik Traing, Provinsi Takeo.
"Mereka menekan keluarga Anda dan jika Anda orang kuat, mereka juga bisa membunuh Anda, seperti Kem Ley."
Kem Ley adalah seorang pengamat politik dan kritikus pemerintah. Pada 2016, dia ditembak mati di siang hari bolong di sebuah kafe di Ibu Kota Phnom Penh.
Seorang pria dipenjara atas pembunuhan tersebut pada 2017 dan menyatakan dia membunuh Ley atas tuduhan utang. Tapi banyak orang, juga aktivis hak asasi manusia, Human Rights Watch, pembunuhan Ley dinilai bermotif politik.
Sejak pembunuhan Ley, pemerintah menangkap pemimpin oposisi Kem Sokha dengan tuduhan penghianatan. Pengadilan Kamboja juga membubarkan partainya, Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP).
Aparat juga memberangus pers, menangkap beberapa wartawan dan menutup surat kabar Cambodia Daily atas tuduhan sengketa pajak.
Pada Mei, para staf surat kabar berbahasa Inggris, Phnom Penh Post mengundurkan setelah koran itu dijual kepada seorang konglomerat Malaysia yang menuntut perubahan atas artikel yang menjelaskan hubungan dia dengan Perdana Menteri Hun Sen.
Sejak 2017, peringkat Kamboja di Indeks Kebebasan Pers Dunia melorot 10 peringkat.
Partai Oposisi Terbesar
CNRP adalah partai oposisi terbesar dan memenangkan tiga juta suara, atau 44 persen saat pemilu 2013. Mereka menuding partai berkuasa melakukan kecurangan, setelah itu Kamboja dilanda aksi demonstrasi besar-besaran.
Alun-alun Kebebasan yang menjadi pusat aksi diganti namanya menjadi Alun-alun Pertukaran. Hanya CPP yang menggelar aksi unjuk rasa besar di Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh.
Pada hari-hari menjelang pemilu, mobil-mobil oposisi tampak berlalu lalang di jalanan Phnom Penh dengan segelintir pendukung mereka.
Partai berkuasa, CPP mengerdilkan 19 partai lainnya yang bakal bersaing dalam pemilu Kamboja 2018. Delapan di antaranya baru dibentuk dalam 18 bulan terakhir.
Dengan anggota CNRP dilarang terlibat dalam politik selama lima tahun, dan partai-partai kecil tidak mungkin meraup banyak suara, jalan kemenangan telah ditetapkan bagi PM Hun Sen.
Kemenangan tersebut tampaknya didukung dengan upaya menghalangi pemilih seperti Bo untuk tidak memberikan suara kepada partai selain partai berkuasa.
Sam Rainsy, yang memimpin kampanye oposisi CNRP pada 2013, tinggal di pengasingan di Prancis untuk menghindari hukuman penjara, dengan tuduhan pencemaran baik, yang juga dinilai bermotif politik.
"Pemilu pura-pura ini bertujuan melegitimasi 'pembunuhan demokrasi' yang dilakukan Hun Sen dengan pembubaran CNRP sebagai satu-satunya partai oposisi yang kredibel. Tanpa partai oposisi yang nyata, kemenangan Hun Sen menggelikan," kata Rainsy seperti dilansir CNN, Jumat (27/7).
Para anggota partai berkuasa CPP menepis penilaian Rainsy. Juru bicara CPP, Phay Siphan mengatakan bahwa partai-partai baru memiliki kesempatan yang adil untuk mempromosikan 'ide-ide baru' mereka.
Saat ditanya soal kasus Bo, dia menegaskan bahwa intimidasi oleh pejabat CPP 'ilegal' dan harus dihentikan.
Basis Dukungan CPP
Para pendukung CPP menyatakan partai tersebut mempersatukan Kamboja pasca dua dekade perang sipil dan genosida yang dilakukan Khmer Merah. Mereka juga menyatakan perekonomian Kamboja berkembang di bawah PM Hun Sen.
Biksu Kepala Pagoda Baray di Takeo, Sareun sepakat dengan hal itu. "CPP membantu pembangunan Kamboja pasca perang," kata Sareun.
"Mereka menjaga perdamaian dan membangun Kamboja dengan jalan-jalan dan bangunan baru," kata dia.
Di bawah pemerintahan PM Hun Sen, Kamboja mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama beberapa tahun terakhir. "Pertumbuhan ekonomi yang kuat rata-rata 7,6 persen pertahun selama dua dekade terakhir telah mengubah Kamboja dari salah satu negara termiskin di dunia menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah saat ini,' kata ekonom Bank Dunia, Sodeth Ly dalam tulisannya pada 2016.
Namun para kritikus menyatakan kekayaan tidak tersebar merata di seluruh Kamboja.
Menurut pengamatan aktivis hak asasi manusia, Global Witness, sebagian besar kekayaan mengalir ke PM Hun Sen dan lingkaran dalam pendukungnya.
![]() |
Dalam laporan pada 20 Juli, Global Witness mengklaim elit pengusaha yang didukung Hun Sen, "mendapatkan keuntungan dari jajak pendapat palsu."
Sebagai pilar dari rezim Hun Sen, sekelompok kecil pengusaha dan politisi tersebut menikmati kekebalan hukum dan kesempatan untuk menjarah aset-aset negara.
"Termasuk para senator yang perusahaannya dituduh melakukan perampasan tanah yang paling kejam di Kamboja selama abad ini, penyelundupan kayu besar-besaran, skandal pengerukan dan perdagangan ganja," tulis Global Witness seperti dilansir CNN.
Pemerintah Kamboja belum menanggapi tuduhan itu, namun putra-putri Hun Sen mengkritik Global Witness dan menepis laporan serupa pada 2016, sebagai 'kebohongan'.
Sophal Ear, penulis berkewarganegaraan Amerika Serikat kturunan Kamboja menyatakan negeri itu telah jatuh ke tangan diktator.
Menganalogikan situasi Kamboja dengan kondisi di Amerika Serikat, Ear menyebut yang terjadi di Kamboja adalah seperti Donald Trump mengatur Mahkamah Agung Amerika Serikat untuk membubarkan Partai Demokrat karena berkhianat, lalu mengadakan pemilihan presiden pada 2020 dengan Partai Republik dan 19 partai kecil lainnya yang tidak memiliki peluang mengalahkan mereka.
"Trump kemudian akan mengatur penutupan New York Times atas tuduhan penggelapan pajak palsu dan mengatur penjualan paksa Washington Post ke Rupert Murdoch dari Fox News, yang hanya menghasilkan berita pro-Trump di mana-mana," kata Ear lewat email seperti dilansir CNN.
Di desanya, Bo mengaku kesal memikirkan itu semua. "Saya merasa kesal karena dalam demokrasi perlu memiliki partai oposisi, terutama yang cukup kuat untuk bersaing dengan partai berkuasa, tapi sekarang hanya ada satu partai," katanya.
"Saya dengar banyak partai yang bergabung dengan mandat ini tapi saya tidak punya informasi soal mereka, hanya ada satu CPP."
[Gambas:Video CNN] (nat)
ARTIKEL TERKAIT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pemilu Kamboja 2018 Dikecam 'Palsu'"
Post a Comment