
Seperti dilansir CNN, Kamis (11/4), Bashir lahir pada 1 Januari 1944. Dia memilih masuk dinas militer pada 1960.
Setelah kembali dari perang, Bashir yang berpangkat kolonel mengorganisir sejumlah perwira untuk melakukan kudeta.
Bashir lantas merebut kekuasaan di Sudan saat berhasil mengkudeta Perdana Menteri Sadiq al-Mahdi pada 1989, tanpa pertumpahan darah. Dia lantas membubarkan pemerintahan, partai politik, dan serikat dagang lalu mendeklarasikan diri sebagai Ketua Dewan Komando Revolusioner.
Setahun setelahnya sejumlah aparat polisi dan militer mencoba mengkudetanya, tetapi gagal. Dia lantas mengeksekusi 30 perwira diduga terlibat kudeta.
Pada pemilihan umum 1996, Bashir menang dengan meraih 75 persen suara. Empat tahun kemudian, dia kembali menang dengan meraih 85 persen suara.
Tiga tahun kemudian, pecah pemberontakan di Darfur, yang kini menjadi Ibu Kota Sudan Selatan. Dia dianggap membiarkan Milisi Janjawid yang pro pemerintah membunuh dan memperkosa warga.
Pada 2008, Mahkamah Kriminal Internasional mendakwa Bashir dengan tuduhan pembantaian dan kejahatan perang di Darfur. Namun, dia tidak pernah bisa diseret ke pengadilan.
Pada pemilu 2015, Bashir menang dengan meraih 94 persen suara. Namun, kelompok oposisi memboikot hasil itu karena dianggap penuh kecurangan.
Sejak akhir 2018, unjuk rasa mendesak Bashir turun merebak di sejumlah kota di Sudan. Pada Februari lalu, Bashir menetapkan status darurat nasional, dan memerintahkan angkatan bersenjata membubarkan demonstrasi.
Kini, nasib Bashir seakan kembali berputar seperti pendahulunya. Kekuasaannya pun berakhir di tangan militer. (ayp)
Baca Kelanjutan Omar al-Bashir, Dari Kudeta ke Kudeta : http://bit.ly/2D94rTMBagikan Berita Ini
0 Response to "Omar al-Bashir, Dari Kudeta ke Kudeta"
Post a Comment