Amnesty Internatioal bahkan menyebut, Suu Kyi "menguburkan kepalanya sendiri di dalam pasir," satu ungkapan berarti mengabaikan fakta menyedihkan yang sebenarnya sudah diketahui.
Komentar Amnesty itu merujuk pada pidato Suu Kyi yang sama sekali tak menyebutkan peran militer Myanmar dalam rentetan kekerasan di Rakhine.
Amnesty International juga mempertanyakan klaim Suu Kyi yang mengatakan bahwa sudah tidak ada bentrokan bersenjata dan operasi pembersihan sejak 5 September lalu.
Menurut sejumlah lembaga pengamat dan laporan jurnalis AFP di lapangan, militer dan warga masih membakar rumah-rumah Rohingya di Rakhine.
"Otoritas di Myanmar harus menghentikan operasi militer, mengizinkan akses kemanusiaan, dan mengakui hak para pengungsi untuk kembali dengan selamat dan terhormat, dan mereka juga harus menyatakan berduka pada Rohingya, yang statusnya tak kunjung jelas sejak lama," katanya.
Hal senada disampaikan Presiden Nigeria, Muhammadu Buhari, yang menyetarakan kekerasan di Myanmar dengan genosida di Bosnia dan Rwanda.
Sementara itu, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengatakan, "Selama tragedi di Myanmar terus berlanjut, kemanusiaan akan hidup dalam penghinaan akibat noda gelap dalam sejarah."
Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, pun didesak oleh Kongres untuk menyampaikan respons kuat terhadap krisis tersebut.
Menurut Kepala Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS, Bob Corker, Suu Kyi menghancurkan reputasinya sebagai orang yang awalnya dianggap dapat membawa perubahan di Myanmar.
"Dia punya kesempatan untuk membela minoritas Rohingya, tapi menolak mengakui peran militer dalam kekejaman ini," katanya.
Dalam pemilu terakhir, Suu Kyi memang menjadi harapan pembawa keadilan bagi berbagai etnis minoritas yang menjadi korban diskriminasi di Myanmar, termasuk Rohingya.
Awalnya, penerima Nobel Perdamaian itu menunjukkan iktikad baik dengan membentuk komisi HAM untuk masalah Rakhine. Komisi itu dipimpin oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan.
Namun ternyata, kekerasan terhadap Rohingya masih terus terjadi. Gelombang kekerasan terakhir pecah sejak 25 Agustus lalu, ketika kelompok bersenjata Pasukan Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) menyerbu sejumlah pos polisi dan satu pangkalan militer di Rakhine.
Hingga kini, konflik itu sudah merenggut sekitar 1.000 nyawa dan membuat ratusan ribu Rohingya kabur ke Bangladesh. </span> (has)
Baca Kelanjutan Tak Bahas Peran Militer di Pidato Rohingya, Suu Kyi Dikritik : http://ift.tt/2xQf4K8Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tak Bahas Peran Militer di Pidato Rohingya, Suu Kyi Dikritik"
Post a Comment