Menlu AS Mike Pompeo menuduh rekannya dari Rusia Sergey Lavrov "membela" serangan pasukan Suriah yang didukung negaranya di Idlib yang merupakan benteng kekuatan terakhir kelompok perlawanan.
"Amerika memandang hal ini sebagai peningkatan konflik yang memang sudah mencapai titik berbahaya," unggah Pompeo di akun Twitternya pada Jumat (31/8).
Peringatan Amerika ini dikeluarkan setelah terjadi perang kata-kata selama 10 hari antara kubu Barat dan aliansi Suriah-Rusia ketika Presiden Assad mensasar provinsi Idlib.
Pasukan pemerintah Suriah mengalami kekalahan bear di awal perang saudara itu, namun dukungan Rusia melalui serangan udara sejak 2015 berhasil membantu mereka kembali menguasai 60 persen wilayah negara itu.
AS, Perancis dan Inggris yang bekerja sama melancarkan serangan terbatas ke instalasi milik Suriah pada pertengahan April sebagai balasan atas dugaan serangan senjata kimia mengatakan bahwa mereka masih menentang penggunaan senjata ilegal.
"Seperti yang telah kami perlihatkan, kami akan terus melakukan langkah tepat menentang penggunaan senjata kimia oleh rezim Suriah," bunyi komunike bersama yang dikeluarkan 21 Agustus.
Penasehat Keamanan Nasional AS John Bolton juga menegaskan negaranya akan bereaksi "sangat keras" terhadap serangan kimia.
Tetapi Lavrov minggu lalu meminta Barat untuk tidak menghalangi langkah yang disebutnya "operasi anti-terorisme" di provinsi Idlib yang berbatasan dengan Turki.
Dalam bahasa yang tampaknya mengkonfirmasi pelaksanaan serangan ini, Lavrov menyebut Idlib sebagai "bisul yang harus dipecahkan", dan menambahkan operasi itu harus mengurangi risiko korban warga sipil.Provinsi Idlib merupakan wilayah terakhir yang dikuasai oleh jihadis yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Suriah, dan terdapat sekitar tiga juga warga sipil di provinsi yang berbatasan dengan Turki ini.
AS ingin Tarik Mundur Pasukan
Di balik layar, para diplomat Amerika Serikat secara aktif memperingatkan Moskow yang sebelumnya dituduh menutup mata atas penggunaan senjata kimia oleh Suriah.
Peneliti dari Institute Hudson Jonas Parello-Plesner mengatakan bahwa "peringatan keras" ini tidak berhubungan dengan situasi yang terjadi di Suriah sekarang.
Menurut Plesner situasi di negara itu adalah "Assad berhasil menguasai wilayah negaranya dengan bantuan Iran di darata dan Rusia di udara," sementara Amerika Serikat menggantungkan harapan pada proses perdamaian Jenewa dukungan PBB yang hampir mati.
Dia menambahkan negara-negara barat bisa melakukan serangan seperti April lalu jika terjadi serangan kimia baru. Tetapi aksi militer terbatas tidak akan mengubah dasar "pendekatan militer pemerintah AS terhadap Suriah."
Presiden Donald Trump mengatakan pada April lalgu "sudah saatnya" memulangkan tentara Amerika dari Suriah, ketika jihadis dari kelompok ISIS benar-benar sudah dikalahkan.
Meski Trump mengelak membicarakan penarikan tentaranya dalam waktu dekat, tekad presiden AS ini untuk menarik diri dari perang saudara tujuh tahun di Suriah secepatnya belum berubah.
Amerika dan sekutunya mengatakan siap menyerang pemerintah Suriah jika kembali menggunakan senjata kimia yang menyebabkan korban sipil. (AFP/Abdulmonam Eassa)
|
"Tidak ada alasan bagi AS keberatan atas operasi di Idlib setelah menyetujui langkah serupa di Damaskus selatan, Aleppo dan lain-lain," ujarnya, "dan pemerintah Suriah dan Rusi tahu fakta ini.
"Jadi Amerika tidak memiliki kredibilitas atau pengaruh dalam masalah ini."
Itani mengatakan ketika masalah-masalah di lapangan sudah selesai, perhatian akan beralih ke diplomasi dan upaya menghasilkan solusi politik seperti yang diinginkan Washington.
"Tetapi saat itu tidak ada yang dirundingkan kecuali mengakui kenyataan politik secara resmi, yang pada akhirnya menggambarkan fakta militer yang menguntungkan rezim Suriah." (yns)
Baca Kelanjutan AS Dinilai Pasrah dengan Kemenangan Bashar Assad di Suriah : https://ift.tt/2wyL03gBagikan Berita Ini
0 Response to "AS Dinilai Pasrah dengan Kemenangan Bashar Assad di Suriah"
Post a Comment