Search

Menggugat Status Diaspora dari Perspektif TKI

Istilah diaspora di Indonesia kerap dilekatkan dengan kelompok warga negara kelas menengah ke atas yang bekerja atau menuntut ilmu di luar negeri. Padahal, makna dari istilah tersebut sebenarnya lebih luas daripada itu.

Kata ini semula lekat dengan warga Yahudi yang tersebar di luar negeri setelah diusir dari tanah Palestina, ribuan tahun lalu. Walau demikian, setelah dirunut, ternyata kata ini diketahui sudah ada jauh lebih lama dari saat itu, berasal dari bahasa Yunani yakni diaspeirein atau menyebar.

Secara umum, diaspora dapat diartikan sebagai warga suatu negara yang tersebar dan menetap atau sementara tinggal di luar negeri. Namun, di negara ini malah ada sebagian diaspora yang malah kerap disandangkan dengan status lain: Tenaga Kerja Indonesia atau TKI.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah "setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah."

Namun, di Indonesia istilah TKI lebih lekat dengan warga yang tinggal di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga atau buruh kasar. Sementara istilah diaspora kerap bersanding dengan pengusaha sukses, pegawai perusahaan global besar atau mahasiswa yang mencoba menempuh pendidikan tinggi di tanah asing.

Erwiana Sulistyaningsih, misalnya, adalah seorang warga Ngawi, Jawa Timur, yang sempat mengadu nasib di Hong Kong untuk menjadi pekerja rumah tangga. Dia mengeluhkan statusnya sebagai TKI yang kerap dibedakan dari komunitas diaspora.

Menurut Erwiana, TKI sering dianggap menyusahkan karena banyak yang pergi melalui jalur ilegal hingga terlilit masalah pidana di luar negeri sehingga mengharuskan pemerintah turun tangan melindungi mereka.

Hal ini jauh berbeda dengan kelompok diaspora Indonesia, yang selama ini merujuk pada kaum 'kelas tinggi' dan seolah-olah dibanggakan karena eksistensi mereka dianggap sebagai perpanjangan tangan bangsa di luar negeri, ujarnya.

"Padahal, kami [TKI] jelas-jelas ikut membantu meningkatkan devisa negara. Tapi kenapa kami masih kerap dipandang berbeda dengan para diaspora? Bahkan tak jarang kami masih dipandang sebelah mata oleh orang Indonesia sendiri di sana," kata Erwiana di Jakarta, Selasa (22/8).

"Diaspora itu seakan memisahkan antara mereka sebagai pekerja 'halus' dan kami [TKI] sebagai pekerja kasar. Padahal arti diaspora sendiri mencakup seluruh orang indonesia yang tinggal di luar negeri. Berarti kami juga bagian dari mereka [diaspora],"

Erwiana tak sendiri. Ada sekitar 160 ribu TKI lainnya yang sama-sama mengadu nasib di negeri eks koloni Inggris itu. Upah para TKI di Hong Kong bisa mencapai 4.000 Dolar Hong Kong atau Rp7 juta per bulannya, standar upah minimum di sana.

Erwiana Sulistyaningsih.Erwiana Sulistyaningsih. (Reuters/Bobby Yip)
Belum lagi ditambah TKI dari negara-negara lain yang mencapai 70 persen dari sekitar 9 juta orang Indonesia di luar negeri.

Berdasarkan data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), TKI menjadi sumber terbesar kedua devisa negara. Dari TKI di Hong Kong saja, pemerintah disebut bisa mendapat devisa hingga triliunan rupiah per bulannya.

Ketua Umum SBMI Heriyanto mengatakan isu mengenai buruh migran memang belum tersentuh di awal kemunculan konferensi dan kongres diaspora Indonesia.

Namun, belakangan bersama sejumlah aktivis dan lembaga swadaya masyarakat lainnya, SBMI terus mendorong supaya suara pekerja migran bisa mulai diakui oleh komunitas diaspora.

"Pada awal Kongres pertama hingga ketiga diaspora isu pekerja migran tak pernah masuk sehingga ada jarak antara kedua kelompok ini. Tapi lambat laun mulai masuk," kata Heriyanto.

Selain minim pengakuan dari kelompok diaspora, tutur Heriyanto, pemerintah juga kerap menganggap para pekerja migran sebagai beban. Padahal, menurutnya, pemerintah banyak mendapatkan keuntungan dari pekerja migran.

"Kenapa pemerintah tidak menganggap buruh migran sebagai aset sumber daya manusia negara? Buruh migran kan bisa dianggap sebagai delegasi RI untuk promosikan budaya kita di luar negeri juga. Mereka [TKI] juga penyumbang devisa terbesar kedua bagi negara," papar Heriyanto.

"Ada kecenderungan negara tidak mau mengatakan buruh migran sebagai aset sumber daya manusia tapi malah sebagai masalah. Kalau pemerintah anggap mereka sebaga aset kan negara wajib melindungi."

Ilustrasi TKI.Ilustrasi TKI. (Pensosbud KBRI Damaskus)
Lebih lanjut, Heriyanto berharap ke depannya peran buruh migran bisa lebih dianggap oleh diaspora Indonesia. Sebab, menurutnya, buruh migran juga mengambil peran penting membangun perekonomian bangsa.

Heriyanto juga berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan lagi hak-hak TKI di luar negeri dan memperkuat perlindungan hukum bagi mereka.

"Sebab, tak bisa dipungkiri masih banyak dari para TKI kita di luar negeri yang sedang menjalani proses hukum dan masalah lainnya. Ini tetap harus jadi perhatian pemerintah," katanya menambahkan.

Menanggapi permasalahan ini, Presiden Indonesian Diaspora Network USA, Herry Utomo, menampik istilah diaspora hanya lekat dengan kelas menengah ke atas.

Menurutnya, diaspora Indonesia tidak hanya mencakup pelajar, pengusaha, atau akademisi asal Indonesia yang tinggal di luar negeri saja. Herry mengatakan, pekerja Indonesia di luar negeri seperti TKI pun termasuk bagian dari diaspora.

Selain itu diaspora pun, paparnya, juga mencakup seorang yang memiliki keturunan darah Indonesia atau warga negara asing yang menikah dan memiliki keluarga orang Indonesia.

“Memang selama ini definisi diaspora itu luas, tergantung siapa yang ditanya. Selama ini banyak yang mengartikan diaspora itu pelajar atau pebisnis indonesia di luar negeri. Kami di sini mencoba luaskan pengertian itu kalau diaspora itu luas, mencakup juga para TKI di luar negeri,” kata Herry.

“Sekitar 8 juta warga Indonesia bekerja di luar negeri, 70 persennya itu merupakan TKI. Mereka [TKI] juga jelas merupakan bagian dari diaspora yang patut mendapat perhatian lebih karena membantu pemasukan bagi bangsa juga kan,” ujarnya. </span> (aal)

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Menggugat Status Diaspora dari Perspektif TKI : http://ift.tt/2x8f2ta

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Menggugat Status Diaspora dari Perspektif TKI"

Post a Comment

Powered by Blogger.