Search

Guru di Ghouta: 'Jika Ingin Bunuh Kami, Cepatlah'

Jakarta, CNN Indonesia -- Krisis kemanusiaan masih menjadi masalah yang mendesak di Ghouta Timur. Meski Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) telah meminta semua pihak untuk menghentikan peperangan, pengiriman bantuan dan evakuasi masih tersendat. Pesawat tempur masih beterbangan diatas wilayah tersebut, menjatuhkan bom kepada penduduk yang ketakutan.

Bayan Rehan, seorang guru, kepala Women's Office Douma dan aktivis hak perempuan berbagi pengalaman mengerikan antara hidup dan mati selama berlindung di bawah tanah saat Ghouta Timur digempur serangan udara.

"Jika kalian ingin membunuhi kami, cepatlah, kami sakit menunggu giliran kematian," tulisnya dalam sebuah artikel opini di CNN, Selasa (27/2).

Bayan Rehan dan keluarganya menyeberangi jarak sejauh 150 meter dalam dua menit melarikan diri dari hujan api. Berdiam dalam perlindungan bawah tanah bukanlah takdir dirinya semata, melainkan sudah hampir semua penduduk Douma di Ghouta Timur bernaung di sana.

Di tempat khusus wanita dan anak-anak itu, Rehan duduk bersandar pada dinding lalu menatap wajah-wajah ketakutan. Dia teringat sel tempatnya pernah ditahan di fasilitas penahanan ke 215 Kafr Sousa di Damaskus. Sedihnya, pemandangan tersebut sangatlah mirip. Penyiksaan yang terjadi dalam penjara dan medan perang hampir sama, keduanya terjadi akibat ulah rezim.

Meski masih tidak dapat mempercayai situasinya, Rehan akhirnya tertidur. Sudah 72 jam dirinya tak dapat tidur pulas akibat terus dibangunkan suara bom didekatnya.

Enam jam berada di bawah sana sudah membuat Rehan merasa tercekik. Susah bernapas ditambah putusnya hubungan dengan dunia luar memperparah situasi. "Harapan mereka [orang-orang dalam perlindungan bawah tanah] hanya untuk tembakan meriam berhenti agar mereka dapat melongok keatas mencari makanan," tulisnya.

Para ibu disana seperti sudah menyerah mengurusi anak-anaknya yang berteriakan. Mereka duduk diam di pojok ruangan untuk memasak menggunakan sobekan baju untuk menyulut api.

Saat mulai terasa lapar, Rehan dan enam wanita dari keluarganya menyusun rencana persiapan makanan hari itu. Taruhan terbaik mereka adalah mencari keluarga lain di tempat berlindung khusus laki-laki.


Rehan dan sepupunya lari menuju lokasi melewati hiruk-pikuk bom maut dan asap hitam. Dia berhasil menerima bahan-bahan yang cukup untuk memberi makan enam wanita serta lima anak keluarganya.

Setalah makan, Rehan merasa sangat bahagia. Walau pesawat tempur masih bising dilangit, dia merasakan kemenangan melawan kekurangan gizi yang melanda Ghouta Timur.

Dalam sunyinya malam, keadaan yang memelas memanggil kembali ingatan Rehan atas pertemuan terakhirnya dengan PBB. Mereka datang ke Douma November lalu membawa 4,010 keranjang untuk 28,000 keluarga kota.

Anak-anak di Ghouta Timur.Foto: Reuters
Anak-anak di Ghouta Timur.

Rehan ingat perkataannya yang masih berlaku hingga saat ini. Dia berkata pada salah satu anggota delegasi bahwa jumlah yang mereka berikan sama sekali tidak mencukupi. Dan konvoi bantuan tersebut membawa pesan bahwa populasi Douma akan menyusut demi menyesuaikan dengan bantuan kecil yang diberikan PBB.

Jika nanti tiba konvoi lain, kata Rehan, "Saya akan mengingatkan mereka atas apa yang sudah pernah saya katakan dan menyebut mereka sekutu dari rezim dan kejahatan Rusia".

"Dan untuk mereka di seluruh dunia yang yang telah menempatkan kemanusiaan didepan, yang berusaha menghentikan pembunuhan orang-orang tak berdosa dengan penggalangan dana dan demonstrasi solidaritas dengan Ghouta Timur. Saya ucapkan terima kasih."

[Gambas:Video CNN]

(nat)

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Guru di Ghouta: 'Jika Ingin Bunuh Kami, Cepatlah' : http://ift.tt/2F2EFPL

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Guru di Ghouta: 'Jika Ingin Bunuh Kami, Cepatlah'"

Post a Comment

Powered by Blogger.