Namun, suara Arab Saudi, sebagai pemimpin di kawasan, dinilai samar-samar bahkan cenderung tak seirama dengan sejumlah negara di kawasan lainnya yang berkeras mengutuk keputusan AS tersebut.
Riyadh secara mengejutkan malah dikabarkan menawarkan Abu Dis, sebuah kota dekat Yerusalem Timur, untuk menjadi Ibu Kota Palestina sebagai alternatif dari keputusan Donald Trump.
Usulan ini pertama kali diungkap New York Times pada 3 Desember lalu. Surat kabar Amerika Serikat itu melaporkan bahwa Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, mengajukan proposal tersebut kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas saat berkunjung ke Riyadh bulan lalu.
Meski belum terkonfirmasi secara resmi oleh Saudi, bahkan dikabarkan Gedung Putih maupun Saudi membantahnya, namun sikap Riyadh itu dianggap secara tidak langsung memihak AS dan Israel.
“Jadi kalau dilihat soal Yerusalem, Saudi memang tidak menentang Trump tapi juga tidak menyatakan dukungannya secara terbuka,” kata peneliti senior politik di Timur Tengah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hamdan Basyar, dalam diskusi Konstelasi baru kepemimpinan di Timur Tengah di Jakarta, Senin (11/12).
Selama beberapa tahun terakhir perekonomian Saudi dilaporkan mengalami defisit. Harga minyak sebagai andalan utama pemasukan negara itu juga sedang mengalami penurunan.
Selain itu, kepemimpinan Saudi yang dikenal kerap mendikte negara-negara di kawasan untuk mengikuti pengaruhnya dianggap mengurangi simpati masyarakat dan negara-negara di kawasan.
Karena itu, menurut Hamdan, Saudi saat ini tengah berupaya mengamankan posisi dan kondisi dalam negerinya salah satunya dengan mendekatkan diri kepada AS,dan secara tidak langsung, Israel.
“Pengaruh Saudi sangat bergantung pada kebijakan AS di Timur Tengah. Karena itu, secara tidak langsung, Riyadh tidak punya pilihan lain selain mendukung keputusan [AS],” lanjutnya.
Damai di Yerusalem
Hamdan mengatakan sengketa status Yerusalem yang selama ini diperebutkan Israel dan Palestina tidak bisa diselesaikan dengan keputusan sepihak.
Dia mengatakan satu-satunya solusi dalam penyelesaian konflik berkepanjangan itu adalah dengan mengakomodir tiga agama yang berkepentingan di kota suci tersebut.
“Solusi dua negara itu memang menjadi solusi ideal, namun yang utama adalah kepentingan tiga agama samawi yakin Islam, Kristen, dan Yahudi harus bisa diakomodir supaya masalah benar-benar bisa selesai,” kata Hamdan.
Dia melihat saat ini perhatian negara Arab sudah tidak lagi besar terhadap isu kemerdekaan Palestina. Negara Arab yang diharapkan paling vokal memperjuangkan hak Palestina untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibu kotanya saat merdeka tidak lah besar.
Kini, Hamdan mengatakan, sumber dukungan bagi bangsa Palestina telah bergeser ke sejumlah negara lainnya seperti Yordania, Indonesia, dan Turki.
Untuk itu, menurutnya, pemerintah Indonesia tidak boleh letih menggaungkan isu kemerdekaan Palestina di setiap forum internasional.
“Yordania sebagai pelindung Masjid Al-Aqsa, Indonesia, dan Turki menjadi negara yang saat ini paling vokal menentang keputusan AS. Ini ada pergeseran dari dulu mungkin negara Arab, saat ini negara di luar kawasan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Hamdan mengatakan gelaran pertemuan tingkat tinggi darurat negara Organisasi Kerja Sama Islam di Istanbul pada 13 Desember nanti pun menjadi ujian bagi negara Muslim terutama negara Arab untuk membuktikan komitmennya dalam mendukung bangsa Palestina.
[Gambas:Video CNN](nat)
Baca Kelanjutan Pragmatisme Saudi soal Yerusalem di Antara Palestina dan AS : http://ift.tt/2AMw4j5Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pragmatisme Saudi soal Yerusalem di Antara Palestina dan AS"
Post a Comment