Dilansir dari CNN, mereka itu adalah buruh-buruh migran tanpa pekerjaan. Banyak yang masih mencari bantuan untuk menagih upah mereka yang belum dibayar. Di rumah singgah, yang dioperasikan oleh organisasi pembela hak buruh migran, Transient Workers Count Too (TWC2), itu tampak sekitar 500 pria setiap malam.
Melejitnya proyek-proyek konstruksi di Singapura, telah mendongkrak perekonomian dan menarik kedatangan banyak tenaga kerja asing. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja, sampai Juni 2017, ada sekitar 296.700 buruh migran di industri konstruksi. Mereka berasal dari Bangladesh, India, Myanmar, dan China.
Tapi siapa mengira, di negara semaju Singapura, persoalan upah masih melanda. Contoh saja Sardar Md Insan Ali, 31 tahun, dari Bangladesh. Dia tiba pada 2017, berbekal iming-iming dan janji bakal dibayar US$1.173 per bulan.
Faktanya, upahnya hanya sekitar US$13 per hari. Malahan, perusahaan tempatnya bekerja memilih tak membayar penuh upahnya selama 8 bulan. Padahal, Insan Ali masih punya tanggungan anak dan istri yang ditinggalkannya di Bangladesh. Saban bulan, dia mengambil sedikit dari upahnya, dan mengirimkan sisanya ke rumah.
Pada September tahun lalu, Sardar dan dua temannya mengajukan komplain ke Kementerian Tenaga Kerja. Tapi perusahaannya malah membatalkan izin kerja dan Sardar dijadwalkan direpatriasi pada Oktober 2017. Kementerian kemudian mengintervensi dan dia masih bisa tinggal di Singapura, sambil menunggu kasusnya tuntas.
Tapi Sardar berhadapan dengan masalah pelik. Dia bisa tinggal di Singapura, tapi tidak bisa bekerja.
Kisah yang sudah terlalu familiar bagi Tamera Fillinger, yang membantu di klinik Rabu TWC2, yang membantu buruh yang cedera atau ingin mengklaim upahnya. Sebagian tak menerima upahnya selama beberapa bulan. Kebanyakan mereka dibayar di bawah standar.
Kementerian Tenaga Kerja Singapura mengatakan menerima 9.000 klaim berkaitan dengan upah, yang melibatkan 4.500 pemberi pekerjaan pada 2016. Ini termasuk buruh migran dan lokal. Sebanyak 95 persen kasus sudah dituntaskan, entah melalui mediasi atau keputusan pengadilan. Sebanyak 158 pemberi kerja sudah mendapat sanksi hukum.
Namun, Jevon Ng, seorang eksekutif di Humanitarian Organisation for Migration Economics (HOME) mengatakan, angka itu rendah sebab kementerian tenaga kerja biasanya melakukan pendekatan perdamaian dalam hal ganti rugi penyelesaian klaim upah, demi mempertahankan reputasi Singapura yang 'ramah pada bisnis'.
Sebaliknya, Kementerian Tenaga Kerja Singapura mengatakan mereka menuntut pemberi kerja yang dengan sengaja menolak membayar upah buruh dan sudah 90 persen kasus berakhir pada pemulihan gaji secara keseluruhan. Sedang kasus yang berkaitan dengan kegagalan bisnis tidak akan dikriminalisasi.
Tapi mengadukan perkara ke Kementerian Tenaga Kerja bukanlah hal yang mudah bagi buruh migran itu. Mereka terancam. Menurut hukum Singapura, izin kerja buruh migran terikat pada pemberi kerja, yang bisa memutus izin kerja mereka sewaktu-waktu. Itulah yang dialami Sardar dan itu masalah yang jamak terjadi.
Biasanya, buruh migran harus membayar agen atau ongkos rekrutmen yang berkisar dari S$3.000 sampai S$15.000 supaya bisa bekerja di Singapura. Untuk membayar ini, ada buruh migran yang harus menjual perhiasan, tanah, meminjam duit dari keluarga, atau pinjaman bank.
Alhasil, tekanan untuk menghasilkan uang di Singapura menjadi begitu besar. Mereka cenderung rela 'tercekik', dibayar di bawah standar, ketimbang tidak dibayar sama sekali.
(ded/ded)
Baca Kelanjutan Pelik dan Tercekik, Nasib Buruh Migran di Singapura : http://ift.tt/2FvhX3HBagikan Berita Ini
0 Response to "Pelik dan Tercekik, Nasib Buruh Migran di Singapura"
Post a Comment